Rabu, 24 Juni 2015

Teori Lawrence Green dan Aplikasinya Dalam Penelitian Kesehatan


BAB 1                                                                                                    PENDAHULUAN

Dalam visi Indonesia sehat 2015 yang tertuang dalam MDGs, terkait dengan kesehatan reproduksi, yaitu  mengendalikan penularan penyakit menular, khususnya TBC dan HIV, sehingga pada tahun 2015 nanti jumlahnya tidak meningkat lagi tetapi justru menurun. Hal tersebut erat kaitannya dengan kesehatan dan faktor penyebabnya.
Undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009 memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal tersebut berarti kesehatan tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial saja, tetapi diukur produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Hal ini sangat berkaitan erat dengan promosi kesehatan yang memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Promosi kesehatan dalam arti pendidikan, secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dari batasan tersebut tersirat unsur-unsur input (sasaran pendidikan baik individu, kelompok, masyarakat dan pendidik pelaku pendidikan); unsur proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain); unsur output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
Hasil output yang diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif. Perubahan perilaku yang belum atau tidak kondusif ke perilaku yang kondusif ini mengandung berbagai dimensi, meliputi perubahan perilaku, pembinaan perilaku, pengembangan perilaku. Dalam hal pengembangan perilaku (Green, 1980), terdapat tiga faktor penyebab terbentuknya perilaku, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), faktor penguat (reinforcing factors).
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka kerja Precede dan Proceed. Oleh karena itu, penulis ingin membahas topik tentang teori perilaku Lawrence W. Green.


























BAB 2                                                                                                            TEORI PRECEDE AND PROCEED

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyrakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendorong (Renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan Perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
B=f (PF, EF, RF )Keterangan :
B = Behavior
PF = Predisposing Factors
EF = Enabling Factors
RF = Reinforcing Factors
F = Fungsi
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka kerja Precede dan Proceed. Kerangka kerja precede mempertimbangkan beberapa faktor yang membentuk status kesehatan dan membantu perencana terfokus pada faktor tersebut sebagai target untuk intervensi.
 Precede juga menghasilkan tujuan spesifik dan kriteria untuk evaluasi. Kerangka Procede menyediakan langkah-langkah tambahan untuk mengembangkan kebijakan dan memulai pelaksanaan dan proses evaluasi.













The PRECEDE-PROCEED models for health promotion planning and evaluation
Menurut Green (1980) penggunaan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED adalah sebagai berikut:
PRECEDE terdiri dari:
Predisposing;
Reinforcing;
Enabling cause in educational diagnosis and evaluation
Akan memberikan wawasan spesifik menyangkut evaluasi. Kerangka kerja ini menunjukkan sasaran yang sangat terarah untuk intervensi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas dan tujuan program.

PROCEED terdiri dari:
Policy
Regulation
Organizational and environmental development
Menampilkan kriteria tahapan kebijakan dan implementasi serta evaluasi.
Precede mengarahkan perhatian awal pendidik kesehatan terhadap keluaran dan bukan terhadap masukan dan memaksanya memulai proses perencanaan pendidikan kesehatan dari ujung “Keluaran”. Ini mendorong munculnya pertanyaan “mengapa” sebelum pertanyaan “bagaimana”. Dari sudut perencanaan, apa yang terlihat sebagai ujung yang salah sebagai tempat untuk memulai, kenyataannya adalah sesuatu yang benar. Orang mulai dengan keluaran akhir, kemudian bertanya tentang apa yang harus mendahului keluaran itu, yakni dengan cara menentukan sebab-sebab keluaran itu. Dinyatakan dalam cara lain, semua faktor yang penting untuk suatu keluaran harus didiagnosis sebelum intervensi dirancang; jika tidak, intervensi akan didasarkan atas dasar tebakan (kira-kira) dan mempunyai resiko salah arah.
Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang berpikir deduktif, untuk memulai dengan akibat akhir dan bekerja ke belakang ke arah sebab-sebab yang asli.
Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede Proceed Theory adalah sebagai berikut:
Fase 1 (diagnosa sosial)
Adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap kebutuhan dan kualitas hidupnya dan aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya. Partisipasi masyarakat adalah sebuah konsep pondasi dalam diagnosis sosial dan telah lama menjadi prinsip dasar bagi kesehatan dan pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan kualitas hidup merupakan hubungan sebab akibat.  Input pendidikan kesehatan, kebijakan, regulasi dan organisasi menyebabkan perubahan out come, yaitu kualitas hidup. Fase ini membantu masyarakat (community) menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan. Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan mengidentifikasi masalah kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian), data (misalnya BPS, Media massa), group method.


Hubungan Antara Kesehatan dan Masalah Sosial







Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui kebijakan sosial, intervensi pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan program kesehatan.
Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial, mengindikasikan masalah kesehatan mempengaruhi kualitas hidup, sehingga kualitas hidup dapat memotivasi dan mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Kualitas hidup sulit diukur dan sulit didefinisikan; ukuran obyektif (indikator sosial), yaitu angka pengangguran, kepadatan hunian, kualitas air. Ukuran subyektif  (informasi dari anggota masyarakat tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu dan sumber daya sosial.
Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi sosial dan kualitas hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.
Fase 2 (diagnosa epidemiologi)
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang, baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu penelusuran masalah-masalah kesehatan yang dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah diprioritaskan. Ini perlu dilihat data kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan indikator kesehatan yang bersifat negatif yaitu morbiditas dan mortalitas, serta yang bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air bersih, cakupan rumah sehat.
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa tahapan, diantaranya:
Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.
Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.
Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.
Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status kesehatan, economic savings.
Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.
Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.
Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)
Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:
Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan.
Mengembangkan penyebab perilaku
Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)
Treatment behaviour
Melihat important perilaku
Frekuensi terjadinya perilaku
Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
Melihat changebility perilaku
Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan, digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi), upaya pencegahan (prevention action), pola konsumsi makanan (consumtion pattern), kepatuhan (compliance), upaya pemeliharaan sendiri (self care).
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu: membedakan penyebab perilaku dan non perilaku; menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah; melihat important faktor lingkungan, melihat changeability faktor lingkungan, memilih target lingkungan.
Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )
Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang status kesehatan atau kualitas hidup dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya. Mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diubah untuk kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan. Merupakan target antara atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:
Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai, dan lain-lain.
Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, dan lain-lain.
Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-lain.

Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:
Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori
Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah sesuai dengan 3 kategori yang ada: predisposing, enabling, reinforcing factors.
Metode:
Formal
Literatur
Checklist dan kuesioner
Informal
Brainstorming
Normal group process (NGP)
Menetapkan prioritas antara kategori
Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan seberapa penting dari ke-3 faktor yang  ada.
Menetapkan prioritas dalam kategori
Berdasarkan pertimbangan:
Important: prevalensi, penting dan segera di atasi menurut logis, pengalaman, data dan teori
Immediacy: seberapa penting
Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan perubahan lingkungan dan perilaku yang terjadi
Changeability: mudah untuk diubah
Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian-kejadian dalam organisasi yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi kesehatan.
Administrative diagnosis
Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang dibutuhkan program
Menilai resorces yang ada didalam organisasi atau masyarakat
Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program

Tahap diagnosa administrasi, antara lain:
Menilai kebutuhan sumber daya
Time
Personnel
Budget
Menilai ketersediaan sumber daya
Personnel
Budgetary contraints (keterbatasan budget)
Menilai penghambat implementasi
Staff commitment and attitude
Goal conflict
Rate of change
Familiarity
Complexity
Space
Community barriers
Policy diagnosis
Menilai dukungan politik
Dukungan regulasi atau peraturan
Dukungan sistem didalam organisasi
Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program

Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:
Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi
Issue of loyality
Consistency
Flexibility
Administrative of professional direction
Menilai kekuatan politik
Level of analysis
The zero-sum game
System approach
Exchange theory
Power equalization approach
Power educative approach
Conflict approach
Advocacy and education and community development


Implementasi:
Kunci keberhasilan implementasi:
Pengalaman
Sensitif terhadap kebutuhan
Fleksibel dalm situasi kondisi
Fokus pada tujuan
Sense of humor

Evaluasi dan accountability:
Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:
Mengukur quality of life
Indikator status kesehatan
Faktor perilaku dan lingkungan
Faktor predisposing, enabling, reinforcing
Aktivitas intervensi
Metode
Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
Tingkat keahlian staf
Kualitas penampilan dan pendidikan

Object of interest:
Input
Intermediate effects
Outcome
Tingkatan Objective:
Ultimate objectives : sosial dan kesehatan
Intermediate objectives: perilaku dan lingkungan
Immediate objective: educational, regulatory, policy
Tingkat Evaluasi:
Evaluasi proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan
Evaluasi impact
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku  (predisposing, enabling, reinforcing factors) dan lingkungan
Evaluasi outcome
Evaluasi terhadap masalah pokok yang apada proses awal perencanaan akan diperbaiki: satus kesehatan dan quality of life.
































BAB III
APLIKASI MODEL PRECEDE DAN PROCEED

 Dalam bidang kesehatan masyarakat, banyak sekali aplikasinya dan berragam aplikasinya. Model ini digunakan untuk merencanakan, merancang, melaksanakan, dan atau mengevaluasi program untuk kesehatan dan berragam  permasalahan kesehatan, seperti masalah kualitas seperti kanker payudara, pemeriksaan payudara sendiri, pendidikan kanker, kesehatan jantung, kesehatan ibu dan anak, pencegahan cidera, pengendalian penyalahgunaan obat. Narkoba, kesehatan gizi berbasis sekolah, kebijakan pendidikan dan pengembangan kurikulum dan pelatihan kurikulum dan pelatihan bagi para professional perawatan kesehatan.
Contoh aplikasi dalam kesehatan reproduksi dan HIV AIDS, sebagai berikut:
Tren penyebaran HIV AIDS pada wanita pekerja seksual sangat tinggi. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami peningkatan (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011). Pada Tahun 2010, Jawa Timur berada pada posisi kedua sedangkan tahun 2011 pada posisi keempat untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia. Meskipun menunjukkan penurunan peringkat namun jumlah kasusnya tetap mengalami peningkatan yaitu 235 kasus (6,6%) dari tahun 2010  (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Kasus HIV/AIDS di kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu sekitar 214%. Namun pada tahun 2010 jumlah penderita HIV/AIDS menurun sekitar 71 kasus (9%) dari kasus sebelumnya. Hal ini menunjukkan penurunan kasus tidak terlalu besar jika dibandingkan lonjakan kasus yang terjadi. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah Wanita Pekerja Seks (WPS).
Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman (KPA, 2009). Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan penggunaan kondom.
Aplikasi Precede-Procede model, dicontohkan sebagai berikut:

























































DAFTAR PUSTAKA

Ariani. 2011. Analisis Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan Berdasarkan Indikator Surveylands Perilaku HIV AIDS pada Wanita Pekerja Seksual. Surabaya. Departemen Epidemiologi FKM Unair
Green. 1991. Health Promotion Planning An Aducational and Environmental Approach Second Edition. London.Mayfield publishing company.
Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.





















LAMPIRAN-LAMPIRAN

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DENGAN TINDAKAN BERDASARKAN INDIKATOR SURVEILANS PERILAKU HIV/AIDS PADA WANITA PEKERJA SEKS
(Studi Penelitian Di Klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya)

The Analysis of relationship between knowledge, attitude with bahavior based on Indicator of Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the Female Sex Workers.
(Research Study In STD Clinic The Health Center Putat Jaya Surabaya)

Putu Desi Ariani1, Arief Hargono2
1 Alumni FKM Unair, putudesia@yahoo.com
2 Departemen Epidemiologi FKM Unair, ririef73@yahoo.com



ABSTRAK
Wanita Pekerja Seks (WPS) merupakan kelompok yang rentan tertular HIV mellaui hubungan seks yang tidak aman. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis hubungan antara pengetahuan, sikap dengan tindakan tindakan berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah semua (WPS) yang periksa di klinik kelamin Puskesmas Putat Jaya Surabaya. Jumlah responden sebanyak 172 responden. Pemilihan sampel dengan systematic random sampling. Variabel yang diteliti adalah karakteristik, pengetahuan, sikap dan tindakan WPS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (58,7%), sikap yang bagus (50,6%) dan tindakan yang kurang terhadap HIV/AIDS (55,2%). Uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap, pengetahuan dengan tindakan serta ada hubungan antara sikap dengan tindakan terhadap HIV/AIDS.
Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Indikator survei perilaku HIV/AIDS pada WPS

ABSTRACT
Female Sex Workers (FSW)  was very susceptible group to HIV through sexual intercourse and unsafe sexual behavior with the customer. The purpose of this study was analyzing the relationship of knowledge and attitudes with behavior based on indicators of behavioral surveillance of HIV / AIDS in the FSW. The design of the study was cross sectional approach. The population was all FSW who had examination in STD clinic of Putat Jaya Health Center in Surabaya. The numbers of sample were 172 respondents. The sampling technique in this study used systematic random sampling. The variabels of this study were the characteristics of FSW, knowledge, attitudes and behavior. This study used chi-square test to analyze the relationship. The results of this study showed that most of respondents had lack knowledge about HIV/AIDS (58.7%), had a good attitude about HIV/AIDS (50.6%) and had lack behavior about HIV/AIDS (55.2%). Chi-square test showed that there was a relationship between knowledge with attitude based on indicators of Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the FSW. There was a relationship between knowledge with behavior. There was a relationship between attitudes with behavior.
Keywords : Knowledge, Attitude, Behavior, Indicator Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the FSW.

PENDAHULUAN
Perkembangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) berdasarkan data WHO tahun 2007-2009 diketahui bahwa trend penyakit tersebut naik turun. Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun namun diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi (Nurbani, 2008). Kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami peningkatan ( Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Pada Tahun 2010, Jawa Timur berada pada posisi kedua sedangkan tahun 2011 pada posisi keempat untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia. Meskipun menunjukkan penurunan peringkat namun jumlah kasusnya tetap mengalami peningkatan yaitu 235 kasus (6,6%) dari tahun 2010  (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Kasus HIV/AIDS di kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu sekitar 214%. Namun pada tahun 2010 jumlah penderita HIV/AIDS menurun sekitar 71 kasus (9%) dari kasus sebelumnya. Hal ini menunjukkan penurunan kasus tidak terlalu besar jika dibandingkan lonjakan kasus yang terjadi.
Salah satu kelompok risiko tinggi adalah Wanita Pekerja Seks (WPS). Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman (KPA, 2009). Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan penggunaan kondom.
Salah satu wilayah yang kasus HIV/AIDS nya tinggi di Kota Surabaya adalah Kecamatan Sawahan. Puskesmas Putat Jaya merupakan Puskesmas di kecamatan tersebut dengan wilayah kerja yaitu lokalisasi Dolly dan Jarak. Menurut hasil laporan VCT kasus HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 65%.
Tujuan penelitian ini mengidentifikasi hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya.

METODE
Rancang bangun penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Populasi pada penelitian ini diperoleh dari jumlah perkiraan seluruh WPS yang sedang melakukan kunjungan ke klinik IMS di Puskesmas Putat Jaya Surabaya pada bulan April-Mei 2011 yaitu sebanyak 259 WPS. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari WPS yang sedang melakukan kunjungan ke klinik IMS di Puskesmas Putat Jaya Surabaya yaitu sebanyak 172 WPS. Cara pengambilan sampel dengan systematic random sampling dengan interval 2 WPS.
Variabel penelitian dalam penelitian ini yaitu karakteristik responden (umur, asal daerah, tingkat pendidikan, status pernikahan, lama bekerja menjadi WPS, lama bekerja di tempat kerja yang sekarang dan pengalaman bekerja di tempat lain), pengetahuan, sikap dan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS.
Pengumpulan data primer dengan kuesioner yang berasal dari hasil modifikasi kuesioner Behavioral Surveillance Survey (BSS) dengan judul Guidlines For Repeated Behavioral Surveys In Populations At Risk of HIV oleh The United States Agency for International Development (USAID) tahun 2000. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain adalah jumlah kunjungan WPS di klinik VCT dan IMS pada bulan April-Mei 2011, data registrasi WPS yang melakukan pemeriksaan VCT, Catatan Medik (CM) WPS dan data distribusi kondom. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

HASIL
Responden didominasi oleh kelompok umur 21-30 tahun dan 31-40 tahun (49%). Asal wilayah para WPS sebagian besar merupakan penduduk yang berasal dari luar Surabaya sebanyak 168 responden (97,7%). Meraka berasal dari daerah Jawa Timur (91,07%) yaitu Malang, Jember, Probolinggo, Kediri, Pasuruan, Jombang, Tulunggagung, Banyuwangi, Tuban, Nganjuk dan beberapa kota lainnya. Sebagian besar responden adalah tamatan SD (52,33%).
Status perkawinan perlu dipertimbangkan terkait dengan kemungkinan interaksi antara populasi paling berisiko (populasi berisiko tinggi) dengan populasi umum (STBP, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa sebagian besar status pernikahan dari WPS yang bekerja dilokalisasi Dolly dan Jarak adalah berstatus janda (85,5%). Namun ada juga yang statusnya menikah (8,1%).
Lama bekerja menjadi WPS paling banyak terdapat pada kelompok 3-5 tahun (48,8%). Lamanya responden bekerja di lokalisasi Dolly atau Jarak paling banyak menunjukan selama 3-5 tahun (48,8%). Untuk riwayat bekerja di tempat lain selain dilokalisasi Dolly dan Jarak paling banyak menunjukan bahwa respoden tidak pernah bekerja sebelumnya kecuali di lokalisasi tersebut (95,5%).

PEMBAHASAN
Distribusi tingkat pengetahuan responden tentang HIV/AIDS meliputi penyebab HIV/AIDS, kelompok berisiko tinggi, cara penularan, tanda dan gejala HIV/AIDS, keterkaitan dengan HIV/AIDS dengan IMS, cara pencegahan dan Tes HIV.

Tabel 1. Gambaran Pengetahuan Responden di
Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Pengetahuan RespondenJumlah%Baik7141,3Kurang 10158,7Total172100
Sebagian  besar  responden memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (58,7%). Hasil STBP tahun 2011 pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia yaitu salah satunya WPSL menunjukkan bahwa pengetahuan komprehensif di kalangan WPSL masih rendah (<40%). Ada beberapa pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS yang masih banyak dijawab salah oleh responden, misalnya HIV/AIDS dapat disebabkan karena gigitan nyamuk (51,2%), HIV/AIDS dapat disembuhkan dengan obat (45,3%), seseorang yang terkena HIV/AIDS dapat dilihat dari kondisi fisik (48,8%), HIV/AIDS dapat menular melalui berbagi makanan (57%), Pekerjaan menjadi WPS bukan merupakan pekerjaan dengan risiko tinggi terkena HIV/AIDS (43,6%), menggunaan Narkoba suntik secara bergantian tidak dapat menularkan HIV/AIDS (32,6%), serta pemberian ASI dari ibu yang berstatus HIV tidak dapat menularkan HIV ke anaknya (33,1%). Ternyata masih banyak WPS yang tidak pernah mendengar kondom wanita (41,9%), sebanyak 172 responden (100%) menjawab bahwa dirinya tidak pernah menderita IMS padahal ketika di cross ceck dengan pertanyaan riwayat mendapat obat di klinik IMS, semua WPS menjawab pernah mendapat obat. Masih banyak juga yang menjawab bahwa seseorang yang menderita penyakit IMS (sifilis, GO, Jengger Ayam) tidak memiliki kemungkinan untuk terkena HIV/AIDS (52,3%).
Hasil penelitian untuk variabel sikap diketahui sikap responden terhadap HIV/AIDS paling banyak tergolong baik (50,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tsuroyya (2009) pada WPS Dolly dan Jarak binaan Yayasan Abdi Asih Surabaya, bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang baik (55%).

Tabel 2. Gambaran Sikap Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Sikap RespondenJumlah%Baik8750,6Kurang8549,4Total172100
Ternyata ada beberapa sikap responden yang tergolong tidak baik yaitu masih banyak responden yang setuju bahwa WPS yang tidak terkena HIV/AIDS tidak perlu melakukan konseling dan pemeriksaan di klinik VCT (64,5%), masih banyak responden setuju bahwa WPS yang terkena HIV/AIDS masih dapat berhubungan seks dengan pelanggan meskipun tidak menggunakan kondom (63,4%), masih banyak responden setuju bahwa responden akan berhubungan seks tanpa kondom jika pelanggan menolak tawaran untuk menggunakan kondom (64%) dan masih banyak responden yang tidak setuju untuk merawat keluarga mereka jika ada yang terkena HIV/AIDS (54,1%).
Tindakan HIV/AIDS berdasarkan indikator Survey Surveilans Perilaku meliputi penggunaan kondom saat berhubungan seks terakhir, konsistensi penggunaan kondom, penggunaan narkoba suntik, WPS yang melakukan tes HIV dan keikutsertaan WPS dalam program intervensi yang pernah dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS. Jumlah responden yang mempunyai tindakan yang kurang mengenai HIV/AIDS sebanyak 95 responden (55,2%).

Tabel 3. Gambaran Tindakan Responden di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Tindakan RespondenJumlah %Baik7744,8Kurang 9555,2Total172100
Masih banyak pelanggan dari responden yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks terakhir (61%). Selain itu untuk konsistensi pemakaian kondom, masih banyak pelanggan responden yang belum konsisten dalam menggunakan kondom (73,8%). Hasil Survey Surveilans Perilaku (SSP) di Jawa Timur yaitu pada kota Surabaya tahun 2004 tentang pemakaian kondom menunjukkan hasil yang sama yaitu masih banyak WPS yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan terakhir (59,6%) dan WPS yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial seminggu terakhir hanya 17,3%. Menurut STBP tahun 2011 WPSL yang menggunakan kondom saat berhubungan seks terakhir sebanyak 61% dari responden dan yang selalu menggunakan kondom hanya 47 %
Kondisi condome use di bawah 100% ini merupakan ancaman serius apabila tidak segera dilakukan intervensi. Hubungan seksual antara WPS dan pelanggannya tanpa menggunakan kondom merupakan perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV (USAID dalam Susantie, 2007). Menurut Daus dan Welle dalam Lubis (2008) memperkirakan penggunaan kondom dapat menurunkan penularan HIV/AIDS sebanyak 85% dibanding dengan yang tidak pernah menggunakan.
Semua responden (100%) tidak ada yang menggunakan Narkoba suntik dalam enam bulan terakhir hal ini. Bila ada WPS yang juga menggunakan napza suntik, maka dapat diperkirakan risiko penularan HIV akan semakin cepat meningkat.
Responden sudah banyak yang rutin melakukan pemeriksaan baik pemeriksaan di klinik VCT (69,8%) maupun pemeriksaan di klinik IMS (65,1%). Semua responden (100%) pernah masuk ke ruang VCT dan semua responden (100%) yang pernah masuk ke ruang VCT melanjutkan pemeriksaan darah setelah masuk ke ruang VCT. Namun ternyata ada responden yang pernah tidak membuka hasil pemeriksaan darah (24,4%) dengan alasan karena takut (50%) dan tidak siap mental untuk melihat hasilnya (50%).
Semua responden (100%) pada penelitian ini pernah mengikuti program intervensi untuk menanggulangi HIV/AIDS. Program yang paling sering diikuti oleh responden adalah pemeriksaan di klinik VCT dan pembagian kondom gratis.
Perubahan perilaku merupakan salah satu cara yang efektif dalam mencegah tertularnya HIV/AIDS karena HV/AIDS merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan perilaku. Penularan utama HIV di Indonesia adalah melalui jalur seks dengan pasangan seks yang banyak dan berganti-ganti maupun penggunaan suntik tak steril secara bersamaan pada penggunaan Narkoba suntik (Survey Surveilans Perilaku di Jawa Timur, 2004).
Menurut hasil uji chi-square untuk hubungan pengetahuan dengan sikap WPS berdasarkan indikator surevilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =53,385) artinya ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan sikap responden.
Pengetahuan yang kurang ternyata juga berdampak pada sikap WPS yang kurang. Masih banyak WPS yang belum menyadari bahwa mereka termasuk sebagai kelompok risiko tinggi. Hal ini membuat WPS tidak sadar bahwa mereka sangat rentan untuk terkena  HIV/AIDS sehingga masih banyak yang memiliki sikap yang kurang dimana masih banyak WPS yang mau melayani pelanggan yang tidak menggunakan kondom ataupun yang menolak menggunakan, Banyak WPS yang setuju bahwa WPS yang sehat tidak perlu melakukan konseling dan pemeriksaan VCT.
Masih banyak WPS yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang cara penularan HIV/AIDS karena ternyata banyak WPS yang masih mengira bahwa HIV/AIDS ditularkan lewat gigitan nyamuk dan berbagi makanan sehingga hal ini mengakibatkan sikap yang salah pada WPS terkait dengan penularan HIV/AIDS

Tabel 4 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di Puskesmas Putat Jaya
tahun 2012
PengetahuanSikapTotalKurangBaikn%n%n%Kurang7487,1273110158,7Baik1112,960697141,3Total8510087100172100
Menurut Walgito dalam Kusumastuti (2010), sikap sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan seseorangnya. Sikap seseorang terhadap suatu objek menunjukkan pengetahuan orang tersebut terhadap objek yang bersangkutan. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (Widodo dalam Juliastika,dkk, 2012). Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan sikap kurang lebih banyak dari yang lain yaitu 74 responden (87,1%).
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun kelompok salah satunya adalah pengetahuan yang tergolong sebagai faktor yang mempermudah (Presdisposing factor). Pengetahuan juga merupakan domain koginitif yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru didasari pengetahuan maka akan bersifat langgeng, sebaliknya jika perilaku tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangung lama.
Hasil uji chi-square untuk hubungan pengetahuan dengan tindakan WPS berdasarkan indikator surevilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =74,512) artinya ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan tindakan responden.

Tabel 5 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
PengetahuanTindakanTotalKurangBaik n%n%n%Kurang8488,41722,110158,7Baik1111,66077,97141,3Total 9510077100172100
Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tindakan kurang lebih banyak dari yang lain yaitu 84 responden (88,4%). Semua responden dalam penelitian ini mengaku sudah pernah mendengar kondom namun yang pernah mendengar tentang kondom wanita hanya 100 responden (58,1%). Angka ini menunjukan bahwa pengetahuan tentang kondom sudah bagus namun untuk tingkat penggunaan kondom masih rendah. Responden yang menggunakan kondom saat berhubungan terakhir hanya 39% sedangkan yang konsisten untuk selalu menggunakan kondom hanya 26,2%. Menurut data distribusi kondom di Puskesmas Putat Jaya tahun 2011, jumlah kondom yang dibagikan jumlahnya sangat kurang jika dibandingkan dengan pelanggan yang didapat tiap hari
Pengetahuan WPS tentang pemeriksaan darah sebagai cara untuk mengetahui kondisi HIV sudah cukup bagus (86,6%), namun ada WPS yang masih belum pernah mendengar klinik VCT (41,3%), dan masih ada WPS yang tidak mengetahui bahwa pemeriksaan HIV di klinik VCT (35,5%). Hal ini berbeda dengan hasil tindakan dari WPS tentang pemeriksaan VCT bahwa semua WPS pernah masuk ke ruang VCT dan melanjutkannya dengan pengambilan darah. Hal ini dikarenakan di wilayah WPS tempat mereka bekerja sudah ada pihak yang mengkoordinir mereka untuk rutin melakukan pemeriksaan VCT.
Menurut Suesen dalam Soelistijani (2003), pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual memerlukan pendidikan/penyuluhan yang intensif dan ditujukan untuk mengubah perilaku seksual masyarakat tertentu sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV sehingga diharapkan pengetahuan yang diterima WPS nantinya mampu merubah sikap dan perilaku untuk mencegah HIV/AIDS.
Menurut Theory “S-O-R” dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan respon tertutup yang dapat memicu seseorang untuk melakukan suatu tindakan (respon terbuka). Meskipun sikap WPS tergolong baik namun ada beberapa sikap yang masih kurang dan dapat berisiko untuk terkena HIV/AIDS.
Hasil uji chi-square untuk hubungan sikap dengan tindakan WPS berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =39,733) artinya ada hubungan antara variabel sikap dengan tindakan responden.

Tabel 6 Analisis Hubungan Sikap dengan Tindakan Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Sikap TindakanTotalKurangBaik n%n%n%Kurang6871,61722,18549,4Baik2728,46077,98750,6Total9510077100172100
Jumlah responden yang memiliki sikap kurang dan tindakan kurang lebih banyak yaitu 68 responden (71,6%). Mamun ada beberapa sikap yang perlu diperhatikan yaitu misalnya masih banyak yang menjawab bahwa WPS yang tidak terkena HIV/AIDS tidak perlu untuk melakukan konseling dan pemeriksaan di klinik VCT. Sikap yang salah seperti ini dapat memicu tindakan responden, hal ini terbukti bahwa masih ada responden yang tidak rutin dalam melakukan pemeriksaan di klinik VCT (30,2%). Masih banyak responden yang setuju bahwa WPS yang terkena HIV/AIDS masih dapat berhubungan seks dengan pelanggan meskipun tanpa menggunakan kondom selain itu masih banyak responden  yang setuju untuk melayani pelanggan yang tanpa menggunakan kondom jika pelanggan menolak tawaran untuk menggunakan kondom. Sikap yang salah ini ternyata juga dapat dapat berpengaruh pada tindakan responden dalam menggunakan kondom, hal ini terbukti dari pertanyaan tindakan responden yang menolak untuk menggunakan kondom jika pelanggan tidak mau menggunakan kondom sebanyak 146 responden (84,9%) responden menjawab bahwa mereka akan tetap bersedia untuk melayani pelanggan tersebut.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Karakteristik responden paling banyak didominasi oleh kelompok umur 21-30 tahun (45,3%) dan 31-40 tahun (45,3%). Sebagian besar responden berasal dari luar Surabaya (97,7%) dan paling banyak merupakan tamatan SD (52,3%). Status pernikahan responden paling banyak berstatus janda (85,5%) dan sudah bekerja menjadi WPS paling banyak selama 3-5 tahun (48,8%). Responden paling banyak sudah lama bekerja dilokalisasi Dolly atau Jarak sekitar 3-5 tahun (45,3%) dan sebagian besar tidak pernah bekerja ditempat lain (95,5%).
Berdasarkan Survey Surveilans Perilaku HIV/AIDS sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang (58,7%), namun sudah memiliki sikap yang baik (50,6). Sedangkan untuk tindakan sebagian besar responden memiliki tindakan yang masih kurang (55,2%)
Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.
Ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.
Ada hubungan antara sikap dengan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.

Saran
Diharapkan kepada pihak instansi terkait untuk meningkatkan Surveilans Perilaku kepada WPS sehingga dapat memantau perilaku berisiko yang dilakukan oleh WPS dan membuat suatu intervensi yang lebih sesuai untuk dapat mengubah perilaku berisiko tersebut.
Meningkatkan  intesitas penyuluhan secara formal dan lebih menekankan pada materi-materi dasar HIV/AIDS yaitu HIV/AIDS tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk dan berbagi makanan, HIV/AIDS juga tidak dapat diobati, WPS merupakan kelompok risiko tinggi HIV/AIDS, HIV/AIDS dapat menular melalui Narkoba suntik dan ASI dari Ibu yang berstatus HIV kepada anaknya. Selain itu menekankan pada pemakaian kondom dapat mencegah HIV/AIDS, mengenalkan pemakaian kondom wanita, hubungan IMS dengan HIV/AIDS, lebih mengenalkan klinik VCT sebagai tempat pemeriksaan HIV/AIDS dan jadwal rutin pemeriksaan VCT setiap 3 bulan sekali. Selain itu juga dilakukan tindakan monitoring dan evaluasi terhadap penyuluhan maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan terkait dengan HIV/AIDS pada WPS.
Melakukan monitoring penggunaan kondom bagi setiap WPS sehingga bisa menyediakan jumlah kondom yang dibutuhkan WPS sesuai dengan jumlah pelanggan, adanya upaya untuk menguatkan bargaining position WPS dalam penggunaan kondom dan lebih mempromosikan penggunaan kondom wanita sebagai salah satu alternatif dalam mencegah HIV/AIDS.
Diharapkan pada peneliti selanjutnya lebih mengembangkan penelitian ini dengan melihat kuat hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku HIV/AIDS pada WPS berstatus HIV negatif dengan WPS berstatus HIV positif.

1 komentar:

  1. selamat siang kak.
    kak mau tanya.
    kakak punya e booknya green gg??
    makasih kak.

    BalasHapus