Jumat, 26 Juni 2015

THEORY OF REASONED ACTION



THEORY OF REASONED ACTIONS

A.    Pengertian TRA
Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980 (Jogiyanto, 2007). Teori ini menggunakan pendekatan kognitif, dan disertai ide bahwa ...”humans are reasonable animals who, in deciding what action to take sistematically process and utilize the information available to them”.... (Fishbein & Ajzen , 1980; Fishbein & Middlestadt, 1989). Teori ini menghubungkan keyakinan (beliefs), sikap (attitude), kehendak/niat/intensi (intentions), dan perilaku (behavior).
Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Ajzen mengemukakan bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs).

B.     Komponen Umum dalam TRA
Tiga komponen umum dalam TRA :
  1. Behavior Belief
Mengacu pada keyakinan seseorang terhadap perilaku tertentu , disini seseorang akan mempertimbangkan untung rugi perilaku tersebut (Outcome Of The Behavior), disamping itu juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu bila ia melakukan perilaku tersebut.


  1. Normative Belief
Mencerminkan dampak keyakinan normatif, disini mencerminkan dampak dari norma subyektif da norma sosial yang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting oleh individu dan motivasi seseorang untuk mengikuti perilaku tersebut.

  1. Attitude towards the behavior
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. (Petty, cocopio, 1986 dalam Azwar S., 2000 : 6).
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Soekidjo Notoatmojo, 1997 : 130).
Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek tadi (Heri Purwanto, 1998 :62).
a.      Komponen Sikap
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S., 2000 : 23):
1)      Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
2)      Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
3)      Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
b.      Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Soekidjo Notoatmojo,1996 :132):
1)      Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2)      Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.
3)      Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4)      Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.
c.       Sifat Sikap
Sikap dapat pula bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif (Heri Purwanto, 1998 : 63):
1)      Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu.
2)      Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
d.      Ciri – Ciri Sikap
Ciri-ciri sikap adalah (Heri Purwanto, 1998 : 63):
1)        Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannnya dengan sifat motif-motif biogenis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.
2)        Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3)        Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
4)        Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
5)        Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki orang.
e.       Cara Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap.
Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2005).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2003).

f.       Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain :
1)      Pengalaman Pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
2)      Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
3)      Pengaruh Kebudayaan Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.
4)      Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar mauoun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
5)      Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
6)      Faktor Emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. (Azwar, 2005).

  1. Subjective Norms
Norma subjektif atau norma yang dianut seseorang (keluarga). Dorongan anggota keluarga, termasuk kawan terdekat juga mempengaruhi agar seseorang dapat menerima perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan saran, nasehat dan motivasidari keluarga atau kawan. Kemampuan anggota keluarga atau kawanterdekat mempengaruhi seorang individu untuk berperilaku sepertiyang mereka harapkan diperoleh dari pengalaman, pengetahuan dan penilaian individu tersebut terhadap perilaku tertentu dankeyakinannya melihat keberhasilan orang lain berperilaku sepertiyang disarankan

  1. Behavioural Intention
Niat ditentukan oleh sikap, norma penting dalam masyarakat dan norma subjektif. Komponen pertamamengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap ini merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut.
Niat adalah maksud atau keinginan kuat di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Niat termasuk perbuatan hati maka tempanya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya.
Niat tergantung pada sikap terhadap perilaku dan norma subjektif. Niat berperilaku adalah transisi niat atau kehendak ke dalam tindakan.

C.    Bentuk sederhana TRA, dapat dinyatakan berfungsi secara matematika:



 









D.    Skema TRA


 




Sumber : Ogden, Jane. Health Psychology. Open University Press. Buckingham-Philadelphia, 1996 : 2.


KESIMPULAN

Theory Of Reasoned Actions diperkenalkan oleh Fishbein tahun 1967, Ajsen dan Fishbein (1970,1975, 1980). Teori ini digunakan di dalam berbagai macam perilaku manusia khususnya yang berkaitan dengan permasalahan sosial, psikologis kemudian makin bertambah digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan. Teori ini menegaskan peran dari niat seseorang dalam menentukan apakah sebuah perilaku akan terjadi. Teori ini secara tidak langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa niat. Niat seseorang dipengaruhi oleh sikap terhadap suatu perilaku, seperti apakah ia merasa perilaku itu penting. Teori ini juga menjelaskan sifat-sifat normatif yang mungkin dimiliki orang. Mereka berfikir tentang apa yang akan dilakukan orang lain ( orang-orang yang berpengaruh di dalam kelompok ) pada situasi yang sulit. Theory ini menghubungkan keyakinan ( Beliefs ) sikap ( attitude ) kehendak /intensi ( intention ) dan perilaku intensi merupakan prediktor terbaik dari perilaku.



DAFTAR PUSTAKA

Glanz, Karen, etc. 1990. Health Behavior and Health Education. Oxford San Fransisco ; Jossey-Bass Publishers

http://creasoft.files.wordpress.com/2008/04/sikap.pdf

Ogden, Jane. 1996.  Health Psychology. Open University Press ; Buckingham-Philadelphia

Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta ; PT Gasindo






Rabu, 24 Juni 2015

Teori H.L Blum dan Aplikasinya dalam Penelitian Kesehatan


EXPANDING HEALTH CARE HORISON
From general System Concept of Health To a National Health Policy

by: HENRIK L BLUM


THE FORCE FIELD AND WELL- BEING PARADIGMS OF HEALTH

Gambar yang menunjukkan paradigma sehat menurut Blum :




Teori perilaku menurut Henrik L Blum terdiri dari 2 paradigma dasar yaitu The Force –  Field Paradigm dan The Well-being Paradigm.

THE FORCE FIELD  PARADIGMS OF HEALTH

Paradigma kekuatan menandakan adanya pandangan ekologi dari apa yang mempengaruhi kesehatan. Lebar panah dari gambar menandakan estimasi Blum dari arti penting factor tersebut mempengaruhi derajat kesehatan. Factor paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah Lingkungan, kemudian , gaya hidup, genetic dan paling kecil pengaruhnya adalah factor pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan terdiri dari variable lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomic. Faktor gaya hidup terdiri dari variable sikap dan perilaku. Faktor pelayanan kesehatan terdiri dari variable pencegahan, promosi, pengobatan, dan rehabilitasi.
Pada lingkaran tepi dari diagram terdapat 4 point besar kekuatan yang saling berhubungan dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya yang disebut “ Kunci Sub-strata “ yang terdiri dari : sumber daya alam, populasi, system budaya, kepuasan manusia dan keseimbangan ekologi. Yang kemudian disebut sebagai the force field paradigm.

WELL- BEING PARADIGMS OF HEALTH

Paradigma kesehatan adalah pedoman dalam ruang lingkup materi teori kesehatan dan fakta yang terjadi di masyarakat.
Pusat dari diagram Blum yang menjadi objek pusatnya adalah “ Sehat / Well –  being “, dilihat dari aspek fisik, social dan somatic, yang kemudian disebut sebagai  well being paradigm.

Hubungan antara Well – being dengan variable ekonomi, social, budaya dan lingkungan fisik.
Kemelaratan/kemiskinan,  Kekayaan/kemakmuran dan Ras/Bangsa (Poverty, Affluence and race)
“ In general, poverty is associated with greater persistence of negative health “
Orang yang miskin akan lebih miskin dalam kesehatan. Secara umum digambarkan bahwa orang yang miskin maka akan memiliki status kesehatan yang negative.
Terdapat hubungan yang luar biasa antara kejadian TBC  dengan kemiskinan diantara wanita kulit putih dalam berbagai variasi umur. Juga ada hubungan antara kejadian kanker perut dengan kemiskinan pada laki – laki dan wanita kulit putih, dan 2x lebih besar pada laki – laki pada semua level ekonomi.
Obesitas yang berlebih dapat berhubungkan dengan penyakit fisik dihubungkan dengan status ekonomi. Malnutrisi ( biasanya, tetapi tidak selalu karena kemiskinan ) diidentifikasi sebagai factor utama penyebab dari atau akibat dari infeksi dan menimbulkan pengaruh yang meluas pada angka kematian dan kesalitan bayi dan anak – anak.Hubungan antara malnutrisi dengan angka kematian bayi juga sangat berhubungan dengan status social, dan berhubungan dengan perkembangan otak bayi.
Economic Development and Fluktuation
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa tekanan darah tinggi dan penyakit system kardiovaskular merupakan hasil dari kelas social yang modern atau masyarakat industrialisasi. Status kesehatan pada daerah yang belum berkembang lebih baik jika dibandingkan dengan daerah yang sudah maju.
Pola pekerjaan, perpindahan, inflasi, perubahan budaya yang cepat, kehilangan pekerjaan, hubungan social , kondisi stress, merupakan indicator pada proses dan kebijakan ekonomi dalam penentuan status kesehatan. Kehilangan pekerjaan permanent dapat menurunkan optimisme masa depan yang akan berpengaruh terhadap penurunan kesehatan somatic, fisik maupun sosial. Konsekuensi dari kenaikan ekonomi dapat terjadi penyakit stroke, influenza, pneumonia, cardiovascular,cirosis dan kecelakaan, efek dari penurunan ekonomi dapat menyebabkan bunuh diri, kehilangan rumah, tindakan criminal, dan sakit jiwa.
Education
Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dan pendidikan dengan angka kematian dan kesakitan. Sebagai contoh orang berpendidikan tinggi mempunyai pekerjaan layak dan pendapatan yang cukup dalam hal ekonomi. Maka lebih mudah baginya mendapatkan perawatan dan pemeliharaan kesehatannya. Hal ini mengurangi angka kesakitan dan memperpanjang hidup. Orang yang berpendidikan cukup maka pemahaman terhadap kesehatan baik.

Occupational Expossures and Job – related Health
The national Institute for Occopation Health and Safety memperkirakan pada tahun 1972 di Amerika menyatakan bahwa sebanyak 100.000 oarang meninggal dan 390.000 lainnya menderita sakit karena bekerja di industri Amerika, dikarenakan paparan terhadap substansi berbahaya sepanjang hidupnya. Misalnya pekerja di proyek energi atom dua kali lipat beresikolebih tinggi terkena kanker pancreas dibandingkan yang lain. Wanita yang bekerja lebih rentan terserang penyakit akut dibandingkan wanita yang tidak bekerja. Sangat dianjurkan untuk mengikuti asuransi kecelakaan kerja untuk mengaintisipasi kecelakaan atau kecacatan yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
General Physical Environment
Housing, crowding and population density
Kepadatan mempunyai efek yang kecil terhadap kesehatan dan berefek dalam pada tingkat emosional misalnya pada kekhawatiran dan ketidakbahagiaan. Misalnya di Taiwan, Afrika Selatan kepadatan rumah digambarkan sebagai factor penyebab peningkatan tekanan darah.
Air Pollution
Hubungan antara polusi udara dan kesehatan dapat digambarkan dengan angka kejadian serangan asma, bronchitis, empisema dan kanker paru. Dalam jangka panjang dan secara tidak langsung ada hubungan antara pulosi udara dengan kejadian kanker perut.
Traffic
Terdapat hubungan antara angka kejadian kecelakaan dengan kadar alcohol dalam darah, yang berhubungan dengan kecepatan mengendara.. Kematian akibat kecelakaan lebih tinggi pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih, terutama pada usia 16-24 tahun karena kurangnya akses untuk mengemudi dan perijinan.
Noise
Terdapat hubungan yang sangat berarti pada bising suara dengan kesehatan. Terpapar suara yang bising dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan kejadian penyakit kardiovascular sampai 60%. Kebisingan dihubungkan dengan gangguan psikologis dan perkembangan kognitif di rumah, sekolah dan berakibat pada system cardiovascular, endokrin, respiratory dan digestive, serta dapat meningkatkan tekanan darah. Kebisingan tingkat tinggi pada militer dan industry dapat menyebabkan kehilangan pendengaran sesaat atau menetap. Kebisingan karena bandara bisa menyebabkan kematian karena stroke, penyakit kardiovascular, sirosis, dan kanker paru.
Stress
Beberapa aspek yang mempengaruhi angka kejadian stress :
Population or areal density
Dapat dilihat dari areal pemukiman, kepadatan populasi sangat berhubungan dengan kebisingan, dan kualitas hubungan social. Kepadatan populasi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian TBC, pneumonia, penyakit kronis, bunuh diri, AKB, sakit mental dan penyakit kelamin.
Sosiological Stressors
Sosiological Stressors dapat diartikan sebagai beberapa aspek yang dapat mengganggu well being / kesehatan. Stress ditempat kerja, misalnya tempat kerja yang terlalu jauh dapat menurunkan kualitas kerja yang bisa menimbulkan tekanan dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Tekanan kerja dan keadaan frustasi memicu timbulnya serangan jantung.
Life Changes
Stress yang terjadi baik dalam waktu yang pendek maupun jangka panjang dapat menimbulkan peningkatan kejadian kesakitan. Stress pada individu akan menimbulkan resiko terjadinya penyakit kronik dan akan berpengaruh terhadap keluarga.Perubahan hidup ada yang positive ( Socially favorable change ) misalnya menikah, atau yang negative (Socially unfavorable change ) misalnya kematian anggota keluarga, perceraian, kehilangan pekerjaan dll sangat rentan terjadinya stress dan terjadinya penyakit.


Hubungan antara Well – being dengan variable perilaku dan gaya hidup.

Smoking
Kebiasaan merokook berhubungan dengan angka kejadian kelainan janin, misalnya kanker paru, mulut, pharing, laring, esophagus dan kanker kandung kencing. WHO mengidentifikasi bahwa merokok merupakan penyebab paling penting gangguan kesehatn dan kematian. Disisi lain rokok merupakan penopang ekonomi pada industri temabakau. Di Uni Soviet rokok sebagai penyabab utama peningkatan kematian.
Diet
Diet dan kegemukan berhubungan dengan tekanan darah, serangan jantung, penyakit atheroskerosis, dan stroke, kanker system gastrointestinal, diabetes, penyakit liver dll. 85% anak dengan kegemukan maka akan menjadi kegemukan ketika mereka dewasa. Vegetarian menunjukkan angka hipertensi yang lebih rendah, penurunan resiko kanker.
Alkohol
Alkohol berhubungan dengan kejadian kecelakaan, sirosis, devisiensi vitamin, inflamasi pada pancreas, esophagus dan perut. Prosentase terjadinya kanker yang mengkonsumsi alcohol meningkat dari 6,1% menjadi 9,1% untuk kulit hitan dan dari 11,3% menjadi 12,5%  untuk kulit hitam dan tertinggi terjadi di Puerto Rica sebanyak 27,9%. Kematian karena kecelakaan kendaraan bermotor yang berhubungan dengan pemakaian alcohol dari 50% naik menjadi 75% dan 11 persen dari kematian secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan alcohol.
Exercise
Rendahnya aktivitas fisik sangat erat hubungannya dengan peningkatan angka kejadian penyakit hati. Olahraga yang sangat popular dan menyehatkan adalah fitness.
Manifest Health Behavior ( Perilaku Pendukung Kesehatan )
Pola perilaku pendukung kesehatan sering berhubungan dengan pengetahuan, gaya hidup, penggunaan pelayanan kesehatan dan kemudahan mendapatkan intervensi primer, dan sebagian berhubungan dengan pendidikan, ekonomi dan status social. Misalnya kepatuhan terhadap immmunisasi dan pap smear. Contoh lain adalah penggunaan sabuk keselamatan saat berkendara dan naik pesawat memperlihatkan adanya penurunan angka resiko kecelakaan dan kematian pada anak dan dewasa.
Support networks ( Dukungan )
Tidak adanya dukungan sekitar yang terjadi akhir – akhir ini terhadap kesehatan bisa terjadi karena kematian suami, perceraian, hidup terpisah dan sesorang yang single, dimana menjadi tidak ada tempat berbagi untuk mengurangi stress.

Hubungan antara Well – being dengan variable genetik.

Maladaption
Fakta adanya peningkatan kasus penyakit degeneratif pada masyarakat industri. Hanya sedikit waktu bagi manusis untuk berubah atau  beradaptasi dengan makanan, jenis tekanan dan stress. Penyakit tertentu terjadi pada seseorang yang tidak mempunyai kemampuan  beradaptasi terhadap lingkungannya seperti Aterosklerosis, sering terjadi pada masyarakat industri.
Spesific Condition
Kondisi Orang tertentu yang rentan terhadap suatu penyakit. Tubuh ( secara genetic) gagal beradaptasi dengan penyakit tertentu dan lingkungan. Contoh intoleransi terhadap obat dapat dikategorikan sebagai penyakit

Resistance to Disease
Kemampuan dalam diri individu mempertahankan kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh factor keturunan tetapi lebih merupakan gabungan dari factor genetic (kelebihan / kelemahan ) dan dukungan lingkungan yang relevan untuk mendukung kearah baik / buruk.
Peran genetic tidak diragukan lagi adalah sangat penting dalam penentuan status kesehatan seseorang. Misalnya : seseorang dengan kelainan sickle cell akan menghadapi masalah apabila tinggal di daerah yang tinggi / pegunungan.

Hubungan antara Well – being dengan penggunaan penyedia pelayanan kesehatan
Akhir-akhir ini banyak orang termasuk peneliti melakukan peningkatan status kesehatan dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Disamping adanya bukti klinis tentang manfaat yang semakin baik dari berbagai macam pengobatan yang disediakan, masih banyak pertentangan/kontroversi bagi dokter peneliti yang dihubungkan dengan peningkatan status kesehatan dan peningkatan kemampuan bertahan hidup. Dalam kasus ini keberadaan dokter lebih banyak dihubungkan dengan penyakit yang lebih cenderung berhubungan dengan usia, berdampak pada populasi yang ada, dimana ketika diberikan sebuah terapi justru menimbulkan permasalahan baru yang harus ditangani pula. Lebih-lebih lagi banyak orang yang terlibat dalam pengobatan mempunyai tujuan yang kecil tentang menikmati hidup atau bebas dari penyakit dan efek yang diberikan.  Mungkin lebih dari separo pelayanan kesehatan ditujukan untuk perawatan/pengobatan yang mungkin meningkatkan fungsi atau meningkatan kemampuan dan membebaskan psien dari rasa tidak nyaman tetapi sebenarnya tidak menyembuhkan penyakit atau memperbaiki kesehatanya.
Kebenaran yang lain yaitu banyak pengobatan yang dihubungkan dengan pengalihan pemberian pelayanan social pada masyarakat umum ke sector kesehatan, misanya perawatan lansia  model supervisi dan penggunaan bantuan/asisten diganti dengan adanya home care nursing. Juga banyak dokter yang bertindak dalam kegiatan pemberian sertifikasi, pemilahan dan menjadi supervise dalam sebuah institusi, sehingga aktifitas dokter yang sangat minimal dilakukan adalah promosi kesehatan tentang mempertahankan status kesehatan seseorang.


General Availability and Utilization of Medical Care
Peningkatan umur harapan hidup sering kali dihubungkan dengan kebutuhan perawatan, pencegahan penyakit, informasi dll. Namun semua itu tidak banyak berarti dalam penilaian status kesehatan bayi dan anak-anak, sekitar 86% fakta yang dibutuhkan dalam penilaian statusbayi dan anak-anak adalah ketersediaan air bersih dan adanya fasilitas kesehatan.
Namun ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dalam berbagai tingkat  menjadi tidak efektif  apabila tidak dilakukan penghitungan dari segi ketersediaan suplai air bersih, perumahan yang baik, peningkatan status gizi dan sanitasi yang baik.

Enhanced Utilitation of Medical Care
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada status kesehatan orang-orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan sekedarnya dibandingkan dengan orang-orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat tinggi saat semuanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif.
Di Guatemala dilakukan penambahan fasilitas kesehatan namun tidak  menunjukkan adanya penurunan angka kesakitan secara signifikan. Sebaliknya di Navajo orang yang hidup primitive namun mempunyai asupan gizi yang adekuat justru memiliki status kesehatan yang baik sehingga hanya ada 2 jenis penyakit yang melanda daerah tersebut yaitu infeksi telinga dan TBC.

Quality Control of Medical Care
Di Inggris dalam kasus tertentu tingkat mortalitas cenderung menurun dirumah sakit pendidikan. Jika malah terjadi kenaikan tingkat mortalitas kemungkinan karena penambahan  pelayanan kesehatan namun tanpa diadakan control terhadp pelayanan kesehatan yang diberikan. Arti luas dari kualitas adalah pemberian pelayanan kesehatan yang focus pada kebutuhan klien dan system pelayanan kesehatan yang ada, tentang bagaimana pasien bisa menerima pelayanan kesehatan yang diberikan, level kesehatan yang mereka butuhkan, dan keuntungan yang optimal dari adanya pelayanan kesehatan tersebut bagi individu maupun populasi disekitarnya.

Addition of Specifically-relevant medical Care Selected Population at Known Risk from Specific Hazard
Akibat dari efektifitas kemotherapi seperti infeksi bakteri meningitis, septikemi. Pneumoni, syphilis, tuberculose bahkan lepra adalah hal-hal yang sudah jelas diketahui. Namun kejadian trend yang lama dan terus berulang  akan membuat keluhan tersebut cenderung menurun (atau naik), termasuk penderitaan mereka dan respon mereka yang berat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya akan cenderung berkurang dan mereka menjadi lebih mandiri terhadap pemberian kemotherapi. Tetapi pemberian cemotherapy menjadi satu-satunya yang disalahkan atas terjadi hal-hal tersebut diatas.
Contoh lain yang cukup bagus dalam keefektifan pemberian pelayanan kesehatan adalah di area pelayanan kesehatan ibu dan bayi. Pengenalan resiko yang dilakukan oleh perawat, bidan dan perawat komunitas menurunkan angka kematian bayi kehamilan  yang tidak diinginkan.  Penyuluhan tentang pemenuhan nutrisi secara positif berhubungan dengan penurunan angka prematuritas. Sebuah proyek penelitian di Guatemala,Nigeria, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pelayanan primer dan peningkatan pemberian nutrisi secara substansial berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak umur 1-4 tahun. Bahkan meskipun hal ini dilakukan pada pelayanan kesehatan yang terbatas untuk anak-anak yang miskin ternyata menunjukkan hasil yaitu 60% mengurangi kejadian demam rematik dibandingkan dengan daerah dengan kondisi demografi yang hampir sama namun tidak dilakukan proyek tersebut. Keluarga berencana dan peningkatan kejadian aborsi (sebagai hasil dari pelegalan aborsi), sangat berhubungan dengan penurunan angka kematian bayi.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pelayanan kesehatan yang berfokus pada preventif/pencegahan atau amelioration pada kondisi yang spesifik meningkatkan keefektifan pelayanan, lebih-lebih pada kondisi tertentu. Yang tidak bisa dikatakan adalah bahwa peningkatan jumlah pelayanan kesehatan, melebihi beberapa target dasar yang minimum berhubungan dengan peningkatan status kesehatan secara umum.
Pelayanan kesehatan, meskipun efektif untuk memperbaiki beberapa kondisi, tidak selalu merupakan pendekatan yang bijaksana untuk meningkatkan status kesehatan sebagaimana peralatan/perangkat yang jelas atau beberapa prosedur pencegahan. Pencegahan keracunan atau pada pencegahan kejadian poliomyelitis adalah contoh pendekatan prosedur preventif/pencegahan yang jelas. Keduanya berdasarkan pada metode sains yang baik dan komprehensif/menyeluruh, walaupun pada kejadian pencegahan keracunan tidak seluruhnya berhubungan dengan hal medis dan pada pendcegahan poliomyelitis tidak membutuhkan petugas kesehatan yang ahli untuk melakukan hal tersebut. Hal yang bisa diperdebatkan adalah bahwa pelayanan kesehatan merupakan korban dari peningkatan harapan yang tidak realistic.

Hazard of Medical Care
Resiko dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai penyakit yang didapat dari apa yang dilakukan tenaga kesehatan.
Akibat dari efektifitas kemotherapi seperti infeksi bakteri meningitis, septikemi. Pneumoni, syphilis, tuberculose bahkan lepra adalah hal-hal yang sudah jelas diketahui. Namun kejadian trend yang lama dan terus berulang  akan membuat keluhan tersebut cenderung menurun (atau naik), termasuk penderitaan mereka dan respon mereka yang berat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya akan cenderung berkurang dan mereka menjadi lebih mandiri terhadap pemberian kemotherapi. Tetapi pemberian cemotherapy menjadi satu-satunya yang disalahkan atas terjadi hal-hal tersebut diatas.
Contoh lain yang cukup bagus dalam keefektifan pemberian pelayanan kesehatan adalah di area pelayanan kesehatan ibu dan bayi. Pengenalan resiko yang dilakukan oleh perawat, bidan dan perawat komunitas menurunkan angka kematian bayi ari kehamilan  yang tidak diinginkan.  Penyuluhan tentang pemenuhan nutrisi secara positif berhubungan dengan penurunan angka prematuritas. Sebuah proyek penelitian di Guatemala,Nigeria, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pelayanan primer dan peningkatan pemberian nutrisi secara substansial berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak umur 1-4 tahun. Bahkan meskipun hal ini dilakukan pada pelayanan kesehatan yang terbatas untuk anak-anak yang miskin ternyata menunjukkan hasil yaitu 60% mengurangi kejadian demam rematik dibandingkan dengan daerah dengan kondisi demografi yang hampir sama namun tidak dilakukan proyek tersebut. Keluarga berencana dan peningkatan kejadian aborsi (sebagai hasil dari pelegalan aborsi), sangat berhubungan dengan penurunan angka kematian bayi.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pelayanan kesehatan yang berfokus pada preventif/pencegahan atau amelioration pada kondisi yang spesifik meningkatkan keefektifan pelayanan, lebih-lebih pada kondisi tertentu. Yang tidak bisa dikatakan adalah bahwa peningkatan jumlah pelayanan kesehatan, melebihi beberapa target dasar yang minimum berhubungan dengan peningkatan status kesehatan secara umum.
Pelayanan kesehatan, meskipun efektif untuk memperbaiki beberapa kondisi, tidak selalu merupakan pendekatan yang bijaksana untuk meningkatkan status kesehatan sebagaimana peralatan/perangkat yang jelas atau beberapa prosedur pencegahan. Pencegahan keracunan atau pada pencegahan kejadian poliomyelitis adalah contoh pendekatan prosedur preventif/pencegahan yang jelas. Keduanya berdasarkan pada metode sains yang baik dan komprehensif/menyeluruh, walaupun pada kejadian pencegahan keracunan tidak seluruhnya berhubungan dengan hal medis dan pada pendcegahan poliomyelitis tidak membutuhkan petugas kesehatan yang ahli untuk melakukan hal tersebut. Hal yang bisa diperdebatkan adalah bahwa pelayanan kesehatan merupakan korban dari peningkatan harapan yang tidak realistic.

Deskripsi Kesehatan











Ada 12 indikator pengukur ststus kesehatan yang akan kita bicarakan yang kesemuanya merupakan gabungan dari indicator pada kesehatan fisik, social dan somatic yang akan membedakan ststus kesehatan positif ( baik ) atau negative ( jelek ).
Dalam mengukur status kesehatan maka 12 indikator harus dinilai secara utuh dan tidak dipisah – pisah kan karena hal itu mewakili dari ke 3 aspek kesehatan baik fisik, somatic maupun social.

Psychic Health

“ Psychic health is considered first because of its distinctive and central role in the functioning of members of the species homo sapiens “

Kesehatan fisik merupakan bagian pertama yang membedakan manusia dengan spesies lainnya. Manusia bukan hanya sadar tetapi mereka mengetahui / menyadari ketika “merasakan “ perbedaan, seperti ketika seseorang merasa sakit, lesu dll yang  dapat mereka rasakan dari adanya rangsangan dari panca indera. Dari rangsang panca indera maka dapat dikuatkan atau di kembangkan dengan adanya pemeriksaan laborat yang bisa diambil dari jaringan, cairan atau penemuan aktivitas sub system unutk menegakkan status kesehatannya. Orang yang mau introspeksi terhadap tubuhnya maka akan selalu melakukan pengamatan terhadap setiap fungsi tubuh dan akan merespon dari hasil pengamatan untuk mengetahui status kesehatannya.

Social  Health

“ The state of one’s social health can be defined as the degree of appropriateness of one’s behavior with the individual members of one’s family, with one’s family as an entity and the hierarchy of homo sapiens systems which provide the institutions, persons, and other species with which one must integrate “

Kesehatan sosial digambarkan dengan perilaku individu/seseorang terhadap anggota individu lain ataupun antara satu keluarga dengan keluarga lainnya sebagai satu kesatuan sistem yang saling berintegrasi.Perilaku social yang merusak dari individu dapat ditunjukkan dari perilaku mengendarai kendaraan yang terlalu cepat, mengkonsumsi makanan yang berlebihan, mengkonsumsi minuman keras, merokok dan konsumsi obat – obatan terlarang. Ketika resiko mulai dirasakan dan perilaku yang rusak tersebut tetap dilakukan maka akan muncul fenomena sakit secara fisik dan social. Masyarakat yang mengalami perubahan cepat dan dipengaruhi oleh budaya lain, lebih sulit mempertimbangkan kesehatan sosial.
Penyakit kesehatan sosial yang sering muncul adalah proses ” penuaan ”. Memasuki proses penuaan maka orang menjadi tidak bisa lagi mengerjakan aktivitas rutin yang sering dilakukan sebelumnya, sehingga peran keluarga harus tetap mendorong untuk memiliki rasa tetap berguna secara sosial dan merasa sehat secara fisik. Tetapi  ketika orang lanjut usia hidup dalam keterasingan / isolasi, maka meraka tidak lagi bisa menjadi kesatuan atau tidak bisa berguna dalam sistem keluarga.Sehingga penuaan biasanya dihubungkan dengan penurunan daya tangkap, penurunan keseimbangan tubuh dan penurunan control sub system. Dengan kata lain kegagalan secara somatik dan fisik bisa terjadi jika mereka tidak mampu menggabungkan kondisinya dengan cara masih berpenampilan seperti anak muda yang sering disebut ” mislabeling ”. Jika mereka masih belum bisa menerima bahwa kematian sebagai hal yang normal maka akan menyebabkan ” intolerable ending”.

Somatic  Health

“ Somatic health encompasses the functioning of the subsystems contained by the person system level “

Kesehatan somatik merupakan fungsi subsistem kesehatan dalam tingkatan sistem manusia. Ketidaknyamanan tubuh apakah itu ada perubahan secara sub system atau tidak, tetap harus dipersepsikan sebagai penurunan fungsi subsistem yang dapat menjadi kesakitan secara fisik. Penyakit bisa terjadi tanpa kita sadari, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya test khusus atau test yang lebih luas untuk melihat berbagai variasi keseimbangan system untuk menentukan panyebab keseimbangan menjadi menurun. Penelitian genetic yang cermat terkadang bisa digunakan untuk memprediksi penyakit klinik yang sudah jelas, misalnya diabetes militus. Test genetic juga berguna untuk memetukan status kesehatan generasi berikutnya, misalnya pada kasus karier sickle-cell maka biasanya anaknya akan menderita hal yang sama jika dia menikah dengan orang yang mempunyai kondisi serupa. Status genetic dapat digunakan untuk menilai apakah sesorang itu sehat atau sakit sebelum atau beberapa saat setelah kelahiran.








12 Indikator Pengukur Status Kesehatan

Life expentancy or duration
Masa kelangsungan hidup individu ( UHH ) umumnya dilihat dari rata – rata tahun yang mampu dilalui dari sekelompok individu atau dilihat dari derajat kematian yang cepat  dibandingkan dengan beberapa standar  terpilih ( predictor somatic )
Impairement ( Disease or Infirmity )
Penilaian dimulai dari bentuk anatomis/fisik maupun psikologis yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin (predictor somatic/fisik )
Discomfort or Illness
Ketidaknyamanan/penderitaan yang dirasakan seseorang baik somatik, fisik maupun sosial ( kombinasi )
Disability or incapacity
Ketidakmampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas – tugas/kewajibannya sesuai dengan umur, jenis kelamin dan peranan sosialnya dalam masyarakat
 (predictor somatik, fisik maupun sosial  atau kombinasi )
Participation in health care
Kepedulian untuk bertukar pikiran dengan tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan maupun memelihara kesehatan dirinya untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik  (predictor utamanya kesehatan social, walaupun kadang – kadang tergantung dengan predictor somatikataupun fisik )
Health behavior
Perilaku atau gaya hidup yang dapat mendukung maupun mengancam derajat kesehatan seseorang. Perilaku ini termasuk didalamnya adalah merokok, alkohol, istirahat yang tidak teratur, maupun perilaku lain yang berisiko ( Utamnya predictor social )
Ecologic behavior
Perilaku seseorang terhadap lingkungan sekitarnya seperti spesies lain, sumber daya alam dan ekosistem (predictor social )

Sosial behavior
Perilaku seseorang terhadap individu lain, keluarga, masyarakat ataupun bangsa lain. Termasuk didalamnya kemampuan seseorang untuk menolong orang lain maupun merampok, membunuh ataupun hal buruk lainnya (predictor social )
Interpersonal relationship
Kemampuan berkomunikasi maupun berhubungan dengan orang lain ( Utamanya predictor fisik, tetapi juga sangat dipengaruhi predictor somatic dan social )
Reserve or positive health
Kemampuan seseorang untuk melawan penyakit maupun menjalani hidup dengan kelainan somatik, fisik maupun tekanan sosial yang dideritanya ( Kombinasi dari predictor fisik, social dan somatic )
External Satisfaction
Perasaan gembira/kenikmatan hasil dari kontak dengan institusi sosial utama seperti rumah, pekerjaan, insitusi pendidikan, rekreasi, transportasi maupun pelayanan kesehatan ( Utamanya predictor kesehatan sosial, tetapi juga sangat dipengaruhi predictor somatic dan fisik )
Internal satisfaction
Perasaan gembira/kenikmatan hidup yang diperoleh atas terpenuhinya kebutuhan diri ( Utamanya predictor kesehatan fisik, tetapi juga sangat dipengaruhi derajat   somatic dan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Blum, Henrik L. (1983). Expanding Health Horizons: From a General Systems
    Concept of Health to a National Health Policy. Oakland, California: Third Party
    Publishing Company.

Teori Lawrence Green dan Aplikasinya Dalam Penelitian Kesehatan


BAB 1                                                                                                    PENDAHULUAN

Dalam visi Indonesia sehat 2015 yang tertuang dalam MDGs, terkait dengan kesehatan reproduksi, yaitu  mengendalikan penularan penyakit menular, khususnya TBC dan HIV, sehingga pada tahun 2015 nanti jumlahnya tidak meningkat lagi tetapi justru menurun. Hal tersebut erat kaitannya dengan kesehatan dan faktor penyebabnya.
Undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009 memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal tersebut berarti kesehatan tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial saja, tetapi diukur produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Hal ini sangat berkaitan erat dengan promosi kesehatan yang memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Promosi kesehatan dalam arti pendidikan, secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dari batasan tersebut tersirat unsur-unsur input (sasaran pendidikan baik individu, kelompok, masyarakat dan pendidik pelaku pendidikan); unsur proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain); unsur output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
Hasil output yang diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif. Perubahan perilaku yang belum atau tidak kondusif ke perilaku yang kondusif ini mengandung berbagai dimensi, meliputi perubahan perilaku, pembinaan perilaku, pengembangan perilaku. Dalam hal pengembangan perilaku (Green, 1980), terdapat tiga faktor penyebab terbentuknya perilaku, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), faktor penguat (reinforcing factors).
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka kerja Precede dan Proceed. Oleh karena itu, penulis ingin membahas topik tentang teori perilaku Lawrence W. Green.


























BAB 2                                                                                                            TEORI PRECEDE AND PROCEED

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyrakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendorong (Renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan Perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
B=f (PF, EF, RF )Keterangan :
B = Behavior
PF = Predisposing Factors
EF = Enabling Factors
RF = Reinforcing Factors
F = Fungsi
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan yang dikenal dengan kerangka kerja Precede dan Proceed. Kerangka kerja precede mempertimbangkan beberapa faktor yang membentuk status kesehatan dan membantu perencana terfokus pada faktor tersebut sebagai target untuk intervensi.
 Precede juga menghasilkan tujuan spesifik dan kriteria untuk evaluasi. Kerangka Procede menyediakan langkah-langkah tambahan untuk mengembangkan kebijakan dan memulai pelaksanaan dan proses evaluasi.













The PRECEDE-PROCEED models for health promotion planning and evaluation
Menurut Green (1980) penggunaan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED adalah sebagai berikut:
PRECEDE terdiri dari:
Predisposing;
Reinforcing;
Enabling cause in educational diagnosis and evaluation
Akan memberikan wawasan spesifik menyangkut evaluasi. Kerangka kerja ini menunjukkan sasaran yang sangat terarah untuk intervensi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas dan tujuan program.

PROCEED terdiri dari:
Policy
Regulation
Organizational and environmental development
Menampilkan kriteria tahapan kebijakan dan implementasi serta evaluasi.
Precede mengarahkan perhatian awal pendidik kesehatan terhadap keluaran dan bukan terhadap masukan dan memaksanya memulai proses perencanaan pendidikan kesehatan dari ujung “Keluaran”. Ini mendorong munculnya pertanyaan “mengapa” sebelum pertanyaan “bagaimana”. Dari sudut perencanaan, apa yang terlihat sebagai ujung yang salah sebagai tempat untuk memulai, kenyataannya adalah sesuatu yang benar. Orang mulai dengan keluaran akhir, kemudian bertanya tentang apa yang harus mendahului keluaran itu, yakni dengan cara menentukan sebab-sebab keluaran itu. Dinyatakan dalam cara lain, semua faktor yang penting untuk suatu keluaran harus didiagnosis sebelum intervensi dirancang; jika tidak, intervensi akan didasarkan atas dasar tebakan (kira-kira) dan mempunyai resiko salah arah.
Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang berpikir deduktif, untuk memulai dengan akibat akhir dan bekerja ke belakang ke arah sebab-sebab yang asli.
Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede Proceed Theory adalah sebagai berikut:
Fase 1 (diagnosa sosial)
Adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap kebutuhan dan kualitas hidupnya dan aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya. Partisipasi masyarakat adalah sebuah konsep pondasi dalam diagnosis sosial dan telah lama menjadi prinsip dasar bagi kesehatan dan pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan kualitas hidup merupakan hubungan sebab akibat.  Input pendidikan kesehatan, kebijakan, regulasi dan organisasi menyebabkan perubahan out come, yaitu kualitas hidup. Fase ini membantu masyarakat (community) menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan. Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan mengidentifikasi masalah kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian), data (misalnya BPS, Media massa), group method.


Hubungan Antara Kesehatan dan Masalah Sosial







Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui kebijakan sosial, intervensi pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan program kesehatan.
Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial, mengindikasikan masalah kesehatan mempengaruhi kualitas hidup, sehingga kualitas hidup dapat memotivasi dan mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan.
Kualitas hidup sulit diukur dan sulit didefinisikan; ukuran obyektif (indikator sosial), yaitu angka pengangguran, kepadatan hunian, kualitas air. Ukuran subyektif  (informasi dari anggota masyarakat tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu dan sumber daya sosial.
Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi sosial dan kualitas hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.
Fase 2 (diagnosa epidemiologi)
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang, baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu penelusuran masalah-masalah kesehatan yang dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah diprioritaskan. Ini perlu dilihat data kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan indikator kesehatan yang bersifat negatif yaitu morbiditas dan mortalitas, serta yang bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air bersih, cakupan rumah sehat.
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa tahapan, diantaranya:
Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.
Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.
Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.
Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status kesehatan, economic savings.
Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.
Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.
Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)
Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:
Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan.
Mengembangkan penyebab perilaku
Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)
Treatment behaviour
Melihat important perilaku
Frekuensi terjadinya perilaku
Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
Melihat changebility perilaku
Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan, digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi), upaya pencegahan (prevention action), pola konsumsi makanan (consumtion pattern), kepatuhan (compliance), upaya pemeliharaan sendiri (self care).
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu: membedakan penyebab perilaku dan non perilaku; menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah; melihat important faktor lingkungan, melihat changeability faktor lingkungan, memilih target lingkungan.
Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )
Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang status kesehatan atau kualitas hidup dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya. Mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diubah untuk kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan. Merupakan target antara atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:
Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai, dan lain-lain.
Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, dan lain-lain.
Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-lain.

Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:
Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori
Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah sesuai dengan 3 kategori yang ada: predisposing, enabling, reinforcing factors.
Metode:
Formal
Literatur
Checklist dan kuesioner
Informal
Brainstorming
Normal group process (NGP)
Menetapkan prioritas antara kategori
Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan seberapa penting dari ke-3 faktor yang  ada.
Menetapkan prioritas dalam kategori
Berdasarkan pertimbangan:
Important: prevalensi, penting dan segera di atasi menurut logis, pengalaman, data dan teori
Immediacy: seberapa penting
Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan perubahan lingkungan dan perilaku yang terjadi
Changeability: mudah untuk diubah
Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian-kejadian dalam organisasi yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi kesehatan.
Administrative diagnosis
Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang dibutuhkan program
Menilai resorces yang ada didalam organisasi atau masyarakat
Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program

Tahap diagnosa administrasi, antara lain:
Menilai kebutuhan sumber daya
Time
Personnel
Budget
Menilai ketersediaan sumber daya
Personnel
Budgetary contraints (keterbatasan budget)
Menilai penghambat implementasi
Staff commitment and attitude
Goal conflict
Rate of change
Familiarity
Complexity
Space
Community barriers
Policy diagnosis
Menilai dukungan politik
Dukungan regulasi atau peraturan
Dukungan sistem didalam organisasi
Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program

Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:
Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi
Issue of loyality
Consistency
Flexibility
Administrative of professional direction
Menilai kekuatan politik
Level of analysis
The zero-sum game
System approach
Exchange theory
Power equalization approach
Power educative approach
Conflict approach
Advocacy and education and community development


Implementasi:
Kunci keberhasilan implementasi:
Pengalaman
Sensitif terhadap kebutuhan
Fleksibel dalm situasi kondisi
Fokus pada tujuan
Sense of humor

Evaluasi dan accountability:
Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:
Mengukur quality of life
Indikator status kesehatan
Faktor perilaku dan lingkungan
Faktor predisposing, enabling, reinforcing
Aktivitas intervensi
Metode
Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
Tingkat keahlian staf
Kualitas penampilan dan pendidikan

Object of interest:
Input
Intermediate effects
Outcome
Tingkatan Objective:
Ultimate objectives : sosial dan kesehatan
Intermediate objectives: perilaku dan lingkungan
Immediate objective: educational, regulatory, policy
Tingkat Evaluasi:
Evaluasi proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan
Evaluasi impact
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku  (predisposing, enabling, reinforcing factors) dan lingkungan
Evaluasi outcome
Evaluasi terhadap masalah pokok yang apada proses awal perencanaan akan diperbaiki: satus kesehatan dan quality of life.
































BAB III
APLIKASI MODEL PRECEDE DAN PROCEED

 Dalam bidang kesehatan masyarakat, banyak sekali aplikasinya dan berragam aplikasinya. Model ini digunakan untuk merencanakan, merancang, melaksanakan, dan atau mengevaluasi program untuk kesehatan dan berragam  permasalahan kesehatan, seperti masalah kualitas seperti kanker payudara, pemeriksaan payudara sendiri, pendidikan kanker, kesehatan jantung, kesehatan ibu dan anak, pencegahan cidera, pengendalian penyalahgunaan obat. Narkoba, kesehatan gizi berbasis sekolah, kebijakan pendidikan dan pengembangan kurikulum dan pelatihan kurikulum dan pelatihan bagi para professional perawatan kesehatan.
Contoh aplikasi dalam kesehatan reproduksi dan HIV AIDS, sebagai berikut:
Tren penyebaran HIV AIDS pada wanita pekerja seksual sangat tinggi. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami peningkatan (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011). Pada Tahun 2010, Jawa Timur berada pada posisi kedua sedangkan tahun 2011 pada posisi keempat untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia. Meskipun menunjukkan penurunan peringkat namun jumlah kasusnya tetap mengalami peningkatan yaitu 235 kasus (6,6%) dari tahun 2010  (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Kasus HIV/AIDS di kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu sekitar 214%. Namun pada tahun 2010 jumlah penderita HIV/AIDS menurun sekitar 71 kasus (9%) dari kasus sebelumnya. Hal ini menunjukkan penurunan kasus tidak terlalu besar jika dibandingkan lonjakan kasus yang terjadi. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah Wanita Pekerja Seks (WPS).
Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman (KPA, 2009). Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan penggunaan kondom.
Aplikasi Precede-Procede model, dicontohkan sebagai berikut:

























































DAFTAR PUSTAKA

Ariani. 2011. Analisis Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan Berdasarkan Indikator Surveylands Perilaku HIV AIDS pada Wanita Pekerja Seksual. Surabaya. Departemen Epidemiologi FKM Unair
Green. 1991. Health Promotion Planning An Aducational and Environmental Approach Second Edition. London.Mayfield publishing company.
Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.





















LAMPIRAN-LAMPIRAN

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DENGAN TINDAKAN BERDASARKAN INDIKATOR SURVEILANS PERILAKU HIV/AIDS PADA WANITA PEKERJA SEKS
(Studi Penelitian Di Klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya)

The Analysis of relationship between knowledge, attitude with bahavior based on Indicator of Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the Female Sex Workers.
(Research Study In STD Clinic The Health Center Putat Jaya Surabaya)

Putu Desi Ariani1, Arief Hargono2
1 Alumni FKM Unair, putudesia@yahoo.com
2 Departemen Epidemiologi FKM Unair, ririef73@yahoo.com



ABSTRAK
Wanita Pekerja Seks (WPS) merupakan kelompok yang rentan tertular HIV mellaui hubungan seks yang tidak aman. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis hubungan antara pengetahuan, sikap dengan tindakan tindakan berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah semua (WPS) yang periksa di klinik kelamin Puskesmas Putat Jaya Surabaya. Jumlah responden sebanyak 172 responden. Pemilihan sampel dengan systematic random sampling. Variabel yang diteliti adalah karakteristik, pengetahuan, sikap dan tindakan WPS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (58,7%), sikap yang bagus (50,6%) dan tindakan yang kurang terhadap HIV/AIDS (55,2%). Uji chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap, pengetahuan dengan tindakan serta ada hubungan antara sikap dengan tindakan terhadap HIV/AIDS.
Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Indikator survei perilaku HIV/AIDS pada WPS

ABSTRACT
Female Sex Workers (FSW)  was very susceptible group to HIV through sexual intercourse and unsafe sexual behavior with the customer. The purpose of this study was analyzing the relationship of knowledge and attitudes with behavior based on indicators of behavioral surveillance of HIV / AIDS in the FSW. The design of the study was cross sectional approach. The population was all FSW who had examination in STD clinic of Putat Jaya Health Center in Surabaya. The numbers of sample were 172 respondents. The sampling technique in this study used systematic random sampling. The variabels of this study were the characteristics of FSW, knowledge, attitudes and behavior. This study used chi-square test to analyze the relationship. The results of this study showed that most of respondents had lack knowledge about HIV/AIDS (58.7%), had a good attitude about HIV/AIDS (50.6%) and had lack behavior about HIV/AIDS (55.2%). Chi-square test showed that there was a relationship between knowledge with attitude based on indicators of Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the FSW. There was a relationship between knowledge with behavior. There was a relationship between attitudes with behavior.
Keywords : Knowledge, Attitude, Behavior, Indicator Behavior Surveillance of HIV/AIDS in the FSW.

PENDAHULUAN
Perkembangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) berdasarkan data WHO tahun 2007-2009 diketahui bahwa trend penyakit tersebut naik turun. Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun namun diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang tidak mudah diatasi (Nurbani, 2008). Kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami peningkatan ( Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Pada Tahun 2010, Jawa Timur berada pada posisi kedua sedangkan tahun 2011 pada posisi keempat untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia. Meskipun menunjukkan penurunan peringkat namun jumlah kasusnya tetap mengalami peningkatan yaitu 235 kasus (6,6%) dari tahun 2010  (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011).
Kasus HIV/AIDS di kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu sekitar 214%. Namun pada tahun 2010 jumlah penderita HIV/AIDS menurun sekitar 71 kasus (9%) dari kasus sebelumnya. Hal ini menunjukkan penurunan kasus tidak terlalu besar jika dibandingkan lonjakan kasus yang terjadi.
Salah satu kelompok risiko tinggi adalah Wanita Pekerja Seks (WPS). Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman (KPA, 2009). Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan penggunaan kondom.
Salah satu wilayah yang kasus HIV/AIDS nya tinggi di Kota Surabaya adalah Kecamatan Sawahan. Puskesmas Putat Jaya merupakan Puskesmas di kecamatan tersebut dengan wilayah kerja yaitu lokalisasi Dolly dan Jarak. Menurut hasil laporan VCT kasus HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 65%.
Tujuan penelitian ini mengidentifikasi hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya.

METODE
Rancang bangun penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Populasi pada penelitian ini diperoleh dari jumlah perkiraan seluruh WPS yang sedang melakukan kunjungan ke klinik IMS di Puskesmas Putat Jaya Surabaya pada bulan April-Mei 2011 yaitu sebanyak 259 WPS. Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari WPS yang sedang melakukan kunjungan ke klinik IMS di Puskesmas Putat Jaya Surabaya yaitu sebanyak 172 WPS. Cara pengambilan sampel dengan systematic random sampling dengan interval 2 WPS.
Variabel penelitian dalam penelitian ini yaitu karakteristik responden (umur, asal daerah, tingkat pendidikan, status pernikahan, lama bekerja menjadi WPS, lama bekerja di tempat kerja yang sekarang dan pengalaman bekerja di tempat lain), pengetahuan, sikap dan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS.
Pengumpulan data primer dengan kuesioner yang berasal dari hasil modifikasi kuesioner Behavioral Surveillance Survey (BSS) dengan judul Guidlines For Repeated Behavioral Surveys In Populations At Risk of HIV oleh The United States Agency for International Development (USAID) tahun 2000. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain adalah jumlah kunjungan WPS di klinik VCT dan IMS pada bulan April-Mei 2011, data registrasi WPS yang melakukan pemeriksaan VCT, Catatan Medik (CM) WPS dan data distribusi kondom. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

HASIL
Responden didominasi oleh kelompok umur 21-30 tahun dan 31-40 tahun (49%). Asal wilayah para WPS sebagian besar merupakan penduduk yang berasal dari luar Surabaya sebanyak 168 responden (97,7%). Meraka berasal dari daerah Jawa Timur (91,07%) yaitu Malang, Jember, Probolinggo, Kediri, Pasuruan, Jombang, Tulunggagung, Banyuwangi, Tuban, Nganjuk dan beberapa kota lainnya. Sebagian besar responden adalah tamatan SD (52,33%).
Status perkawinan perlu dipertimbangkan terkait dengan kemungkinan interaksi antara populasi paling berisiko (populasi berisiko tinggi) dengan populasi umum (STBP, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa sebagian besar status pernikahan dari WPS yang bekerja dilokalisasi Dolly dan Jarak adalah berstatus janda (85,5%). Namun ada juga yang statusnya menikah (8,1%).
Lama bekerja menjadi WPS paling banyak terdapat pada kelompok 3-5 tahun (48,8%). Lamanya responden bekerja di lokalisasi Dolly atau Jarak paling banyak menunjukan selama 3-5 tahun (48,8%). Untuk riwayat bekerja di tempat lain selain dilokalisasi Dolly dan Jarak paling banyak menunjukan bahwa respoden tidak pernah bekerja sebelumnya kecuali di lokalisasi tersebut (95,5%).

PEMBAHASAN
Distribusi tingkat pengetahuan responden tentang HIV/AIDS meliputi penyebab HIV/AIDS, kelompok berisiko tinggi, cara penularan, tanda dan gejala HIV/AIDS, keterkaitan dengan HIV/AIDS dengan IMS, cara pencegahan dan Tes HIV.

Tabel 1. Gambaran Pengetahuan Responden di
Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Pengetahuan RespondenJumlah%Baik7141,3Kurang 10158,7Total172100
Sebagian  besar  responden memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS (58,7%). Hasil STBP tahun 2011 pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia yaitu salah satunya WPSL menunjukkan bahwa pengetahuan komprehensif di kalangan WPSL masih rendah (<40%). Ada beberapa pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS yang masih banyak dijawab salah oleh responden, misalnya HIV/AIDS dapat disebabkan karena gigitan nyamuk (51,2%), HIV/AIDS dapat disembuhkan dengan obat (45,3%), seseorang yang terkena HIV/AIDS dapat dilihat dari kondisi fisik (48,8%), HIV/AIDS dapat menular melalui berbagi makanan (57%), Pekerjaan menjadi WPS bukan merupakan pekerjaan dengan risiko tinggi terkena HIV/AIDS (43,6%), menggunaan Narkoba suntik secara bergantian tidak dapat menularkan HIV/AIDS (32,6%), serta pemberian ASI dari ibu yang berstatus HIV tidak dapat menularkan HIV ke anaknya (33,1%). Ternyata masih banyak WPS yang tidak pernah mendengar kondom wanita (41,9%), sebanyak 172 responden (100%) menjawab bahwa dirinya tidak pernah menderita IMS padahal ketika di cross ceck dengan pertanyaan riwayat mendapat obat di klinik IMS, semua WPS menjawab pernah mendapat obat. Masih banyak juga yang menjawab bahwa seseorang yang menderita penyakit IMS (sifilis, GO, Jengger Ayam) tidak memiliki kemungkinan untuk terkena HIV/AIDS (52,3%).
Hasil penelitian untuk variabel sikap diketahui sikap responden terhadap HIV/AIDS paling banyak tergolong baik (50,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tsuroyya (2009) pada WPS Dolly dan Jarak binaan Yayasan Abdi Asih Surabaya, bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang baik (55%).

Tabel 2. Gambaran Sikap Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Sikap RespondenJumlah%Baik8750,6Kurang8549,4Total172100
Ternyata ada beberapa sikap responden yang tergolong tidak baik yaitu masih banyak responden yang setuju bahwa WPS yang tidak terkena HIV/AIDS tidak perlu melakukan konseling dan pemeriksaan di klinik VCT (64,5%), masih banyak responden setuju bahwa WPS yang terkena HIV/AIDS masih dapat berhubungan seks dengan pelanggan meskipun tidak menggunakan kondom (63,4%), masih banyak responden setuju bahwa responden akan berhubungan seks tanpa kondom jika pelanggan menolak tawaran untuk menggunakan kondom (64%) dan masih banyak responden yang tidak setuju untuk merawat keluarga mereka jika ada yang terkena HIV/AIDS (54,1%).
Tindakan HIV/AIDS berdasarkan indikator Survey Surveilans Perilaku meliputi penggunaan kondom saat berhubungan seks terakhir, konsistensi penggunaan kondom, penggunaan narkoba suntik, WPS yang melakukan tes HIV dan keikutsertaan WPS dalam program intervensi yang pernah dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS. Jumlah responden yang mempunyai tindakan yang kurang mengenai HIV/AIDS sebanyak 95 responden (55,2%).

Tabel 3. Gambaran Tindakan Responden di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Tindakan RespondenJumlah %Baik7744,8Kurang 9555,2Total172100
Masih banyak pelanggan dari responden yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks terakhir (61%). Selain itu untuk konsistensi pemakaian kondom, masih banyak pelanggan responden yang belum konsisten dalam menggunakan kondom (73,8%). Hasil Survey Surveilans Perilaku (SSP) di Jawa Timur yaitu pada kota Surabaya tahun 2004 tentang pemakaian kondom menunjukkan hasil yang sama yaitu masih banyak WPS yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan terakhir (59,6%) dan WPS yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial seminggu terakhir hanya 17,3%. Menurut STBP tahun 2011 WPSL yang menggunakan kondom saat berhubungan seks terakhir sebanyak 61% dari responden dan yang selalu menggunakan kondom hanya 47 %
Kondisi condome use di bawah 100% ini merupakan ancaman serius apabila tidak segera dilakukan intervensi. Hubungan seksual antara WPS dan pelanggannya tanpa menggunakan kondom merupakan perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV (USAID dalam Susantie, 2007). Menurut Daus dan Welle dalam Lubis (2008) memperkirakan penggunaan kondom dapat menurunkan penularan HIV/AIDS sebanyak 85% dibanding dengan yang tidak pernah menggunakan.
Semua responden (100%) tidak ada yang menggunakan Narkoba suntik dalam enam bulan terakhir hal ini. Bila ada WPS yang juga menggunakan napza suntik, maka dapat diperkirakan risiko penularan HIV akan semakin cepat meningkat.
Responden sudah banyak yang rutin melakukan pemeriksaan baik pemeriksaan di klinik VCT (69,8%) maupun pemeriksaan di klinik IMS (65,1%). Semua responden (100%) pernah masuk ke ruang VCT dan semua responden (100%) yang pernah masuk ke ruang VCT melanjutkan pemeriksaan darah setelah masuk ke ruang VCT. Namun ternyata ada responden yang pernah tidak membuka hasil pemeriksaan darah (24,4%) dengan alasan karena takut (50%) dan tidak siap mental untuk melihat hasilnya (50%).
Semua responden (100%) pada penelitian ini pernah mengikuti program intervensi untuk menanggulangi HIV/AIDS. Program yang paling sering diikuti oleh responden adalah pemeriksaan di klinik VCT dan pembagian kondom gratis.
Perubahan perilaku merupakan salah satu cara yang efektif dalam mencegah tertularnya HIV/AIDS karena HV/AIDS merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan perilaku. Penularan utama HIV di Indonesia adalah melalui jalur seks dengan pasangan seks yang banyak dan berganti-ganti maupun penggunaan suntik tak steril secara bersamaan pada penggunaan Narkoba suntik (Survey Surveilans Perilaku di Jawa Timur, 2004).
Menurut hasil uji chi-square untuk hubungan pengetahuan dengan sikap WPS berdasarkan indikator surevilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =53,385) artinya ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan sikap responden.
Pengetahuan yang kurang ternyata juga berdampak pada sikap WPS yang kurang. Masih banyak WPS yang belum menyadari bahwa mereka termasuk sebagai kelompok risiko tinggi. Hal ini membuat WPS tidak sadar bahwa mereka sangat rentan untuk terkena  HIV/AIDS sehingga masih banyak yang memiliki sikap yang kurang dimana masih banyak WPS yang mau melayani pelanggan yang tidak menggunakan kondom ataupun yang menolak menggunakan, Banyak WPS yang setuju bahwa WPS yang sehat tidak perlu melakukan konseling dan pemeriksaan VCT.
Masih banyak WPS yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang cara penularan HIV/AIDS karena ternyata banyak WPS yang masih mengira bahwa HIV/AIDS ditularkan lewat gigitan nyamuk dan berbagi makanan sehingga hal ini mengakibatkan sikap yang salah pada WPS terkait dengan penularan HIV/AIDS

Tabel 4 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di Puskesmas Putat Jaya
tahun 2012
PengetahuanSikapTotalKurangBaikn%n%n%Kurang7487,1273110158,7Baik1112,960697141,3Total8510087100172100
Menurut Walgito dalam Kusumastuti (2010), sikap sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan seseorangnya. Sikap seseorang terhadap suatu objek menunjukkan pengetahuan orang tersebut terhadap objek yang bersangkutan. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (Widodo dalam Juliastika,dkk, 2012). Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan sikap kurang lebih banyak dari yang lain yaitu 74 responden (87,1%).
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) ada 3 faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun kelompok salah satunya adalah pengetahuan yang tergolong sebagai faktor yang mempermudah (Presdisposing factor). Pengetahuan juga merupakan domain koginitif yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru didasari pengetahuan maka akan bersifat langgeng, sebaliknya jika perilaku tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangung lama.
Hasil uji chi-square untuk hubungan pengetahuan dengan tindakan WPS berdasarkan indikator surevilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =74,512) artinya ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan tindakan responden.

Tabel 5 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
PengetahuanTindakanTotalKurangBaik n%n%n%Kurang8488,41722,110158,7Baik1111,66077,97141,3Total 9510077100172100
Responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tindakan kurang lebih banyak dari yang lain yaitu 84 responden (88,4%). Semua responden dalam penelitian ini mengaku sudah pernah mendengar kondom namun yang pernah mendengar tentang kondom wanita hanya 100 responden (58,1%). Angka ini menunjukan bahwa pengetahuan tentang kondom sudah bagus namun untuk tingkat penggunaan kondom masih rendah. Responden yang menggunakan kondom saat berhubungan terakhir hanya 39% sedangkan yang konsisten untuk selalu menggunakan kondom hanya 26,2%. Menurut data distribusi kondom di Puskesmas Putat Jaya tahun 2011, jumlah kondom yang dibagikan jumlahnya sangat kurang jika dibandingkan dengan pelanggan yang didapat tiap hari
Pengetahuan WPS tentang pemeriksaan darah sebagai cara untuk mengetahui kondisi HIV sudah cukup bagus (86,6%), namun ada WPS yang masih belum pernah mendengar klinik VCT (41,3%), dan masih ada WPS yang tidak mengetahui bahwa pemeriksaan HIV di klinik VCT (35,5%). Hal ini berbeda dengan hasil tindakan dari WPS tentang pemeriksaan VCT bahwa semua WPS pernah masuk ke ruang VCT dan melanjutkannya dengan pengambilan darah. Hal ini dikarenakan di wilayah WPS tempat mereka bekerja sudah ada pihak yang mengkoordinir mereka untuk rutin melakukan pemeriksaan VCT.
Menurut Suesen dalam Soelistijani (2003), pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual memerlukan pendidikan/penyuluhan yang intensif dan ditujukan untuk mengubah perilaku seksual masyarakat tertentu sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV sehingga diharapkan pengetahuan yang diterima WPS nantinya mampu merubah sikap dan perilaku untuk mencegah HIV/AIDS.
Menurut Theory “S-O-R” dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan respon tertutup yang dapat memicu seseorang untuk melakukan suatu tindakan (respon terbuka). Meskipun sikap WPS tergolong baik namun ada beberapa sikap yang masih kurang dan dapat berisiko untuk terkena HIV/AIDS.
Hasil uji chi-square untuk hubungan sikap dengan tindakan WPS berdasarkan indikator surveilans perilaku HIV/AIDS hasilnya signifikan (p = 0,00 <0,005 ; χ2 =39,733) artinya ada hubungan antara variabel sikap dengan tindakan responden.

Tabel 6 Analisis Hubungan Sikap dengan Tindakan Responden Berdasarkan Indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS di Puskesmas Putat Jaya tahun 2012
Sikap TindakanTotalKurangBaik n%n%n%Kurang6871,61722,18549,4Baik2728,46077,98750,6Total9510077100172100
Jumlah responden yang memiliki sikap kurang dan tindakan kurang lebih banyak yaitu 68 responden (71,6%). Mamun ada beberapa sikap yang perlu diperhatikan yaitu misalnya masih banyak yang menjawab bahwa WPS yang tidak terkena HIV/AIDS tidak perlu untuk melakukan konseling dan pemeriksaan di klinik VCT. Sikap yang salah seperti ini dapat memicu tindakan responden, hal ini terbukti bahwa masih ada responden yang tidak rutin dalam melakukan pemeriksaan di klinik VCT (30,2%). Masih banyak responden yang setuju bahwa WPS yang terkena HIV/AIDS masih dapat berhubungan seks dengan pelanggan meskipun tanpa menggunakan kondom selain itu masih banyak responden  yang setuju untuk melayani pelanggan yang tanpa menggunakan kondom jika pelanggan menolak tawaran untuk menggunakan kondom. Sikap yang salah ini ternyata juga dapat dapat berpengaruh pada tindakan responden dalam menggunakan kondom, hal ini terbukti dari pertanyaan tindakan responden yang menolak untuk menggunakan kondom jika pelanggan tidak mau menggunakan kondom sebanyak 146 responden (84,9%) responden menjawab bahwa mereka akan tetap bersedia untuk melayani pelanggan tersebut.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Karakteristik responden paling banyak didominasi oleh kelompok umur 21-30 tahun (45,3%) dan 31-40 tahun (45,3%). Sebagian besar responden berasal dari luar Surabaya (97,7%) dan paling banyak merupakan tamatan SD (52,3%). Status pernikahan responden paling banyak berstatus janda (85,5%) dan sudah bekerja menjadi WPS paling banyak selama 3-5 tahun (48,8%). Responden paling banyak sudah lama bekerja dilokalisasi Dolly atau Jarak sekitar 3-5 tahun (45,3%) dan sebagian besar tidak pernah bekerja ditempat lain (95,5%).
Berdasarkan Survey Surveilans Perilaku HIV/AIDS sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang (58,7%), namun sudah memiliki sikap yang baik (50,6). Sedangkan untuk tindakan sebagian besar responden memiliki tindakan yang masih kurang (55,2%)
Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.
Ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.
Ada hubungan antara sikap dengan tindakan berdasarkan indikator Surveilans Perilaku HIV/AIDS pada WPS di klinik IMS Puskesmas Putat Jaya Surabaya tahun 2012.

Saran
Diharapkan kepada pihak instansi terkait untuk meningkatkan Surveilans Perilaku kepada WPS sehingga dapat memantau perilaku berisiko yang dilakukan oleh WPS dan membuat suatu intervensi yang lebih sesuai untuk dapat mengubah perilaku berisiko tersebut.
Meningkatkan  intesitas penyuluhan secara formal dan lebih menekankan pada materi-materi dasar HIV/AIDS yaitu HIV/AIDS tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk dan berbagi makanan, HIV/AIDS juga tidak dapat diobati, WPS merupakan kelompok risiko tinggi HIV/AIDS, HIV/AIDS dapat menular melalui Narkoba suntik dan ASI dari Ibu yang berstatus HIV kepada anaknya. Selain itu menekankan pada pemakaian kondom dapat mencegah HIV/AIDS, mengenalkan pemakaian kondom wanita, hubungan IMS dengan HIV/AIDS, lebih mengenalkan klinik VCT sebagai tempat pemeriksaan HIV/AIDS dan jadwal rutin pemeriksaan VCT setiap 3 bulan sekali. Selain itu juga dilakukan tindakan monitoring dan evaluasi terhadap penyuluhan maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan terkait dengan HIV/AIDS pada WPS.
Melakukan monitoring penggunaan kondom bagi setiap WPS sehingga bisa menyediakan jumlah kondom yang dibutuhkan WPS sesuai dengan jumlah pelanggan, adanya upaya untuk menguatkan bargaining position WPS dalam penggunaan kondom dan lebih mempromosikan penggunaan kondom wanita sebagai salah satu alternatif dalam mencegah HIV/AIDS.
Diharapkan pada peneliti selanjutnya lebih mengembangkan penelitian ini dengan melihat kuat hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku HIV/AIDS pada WPS berstatus HIV negatif dengan WPS berstatus HIV positif.